Jurnal hukum investigas
Surabaya, Minggu, 18 Mei 2025 — Di tengah pemukiman padat Kelurahan Bangkingan, Kecamatan Lakar Santri, Surabaya, praktik sabung ayam ilegal berlangsung tanpa selubung. Tak perlu tempat tersembunyi. Tak perlu waktu malam. Cukup lahan terbuka dan hari libur. Sisanya berjalan sendiri—kerumunan, taruhan, darah, dan sorakan.
Warga sudah tahu. Bahkan anak-anak pun paham ke mana orang-orang dewasa akan pergi setiap akhir pekan. Di satu sisi kota yang dikenal modern dan teratur, satu kantong wilayah dibiarkan menjadi zona abu-abu yang terang-benderang.
Tim investigasi menyusup ke arena tersebut. Hasilnya mencengangkan, meski bukan mengejutkan. Praktik perjudian sabung ayam berjalan dengan lancar, terorganisir, dan terang-terangan. Ratusan orang terlibat, uang beredar cepat, dan aroma pembiaran tercium di setiap sudut.
“Semua sudah tahu. Yang jadi pertanyaan justru: kenapa dibiarkan?” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya. Wajahnya menggambarkan dua hal—kemarahan yang ditelan, dan keputusasaan yang dipelihara.
Yang absen dalam keramaian ini justru yang paling seharusnya hadir: aparat penegak hukum. Tak ada patroli. Tak ada pembubaran. Bahkan tak ada kegelisahan. Seolah semua sudah mendapat bagiannya—entah berupa pengetahuan, atau sesuatu yang lebih gelap.
Ini bukan semata soal sabung ayam. Ini adalah simbol dari keroposnya ketegasan. Sebuah bukti bahwa hukum bisa dilumpuhkan bukan oleh kekerasan, tapi oleh diamnya mereka yang diberi kewenangan untuk menegakkan.
Dalam waktu dekat, konfirmasi akan diajukan kepada Kapolsek Lakar Santri, Kasatreskrim Polrestabes Surabaya, dan unsur-unsur terkait lainnya. Bukan sekadar menagih tanggung jawab, tetapi untuk memastikan apakah institusi masih memiliki keberanian untuk menyentuh sesuatu yang sudah terlalu lama dibiarkan.
Dan jika jawaban yang datang hanyalah kesunyian, maka publik patut bertanya: siapa sebenarnya yang sedang mempertaruhkan wajah hukum di negeri ini?